Pada tahun 1770 Sultan Palembang Darussalam Mahmud Badaruddin II ( tahun 1768-1852), mendatangkan pekerja pekerja dari China untuk menambang Timah guna meningkatkan produksi timah di Pulau Bangka, sejak itulah mulai berdatangan orang orang Cina dari Siam, Malaka, Malaysia dan dari Cina selatan. Kebanyakan mereka berasal dari suku Hakka (Khek) dari Propinsi Guang Xi. Pekerja atau kuli tambang yang berasal dari Cina banyak yang berbaur dengan masyarakat Melayu dan kemudian menikah. Pada dasarnya orang orang Cina Bangka sekarang adalah keturunan perempuan Melayu. Pekerja Cina yang miskin ini sengaja di kontrak untuk menjadi kuli di tambang tambang timah di Bangka untuk jangka waktu tertentu, termasuk untuk bekerja di parit parit timah di Pangkalpinang.
Pada Tahun 1803 J. VAN DEN BOGAART seorang pegawai pemerintah kolonial Belanda mengunjungi Bangka dan mendiskripsikan bahwa ada empat kelompok atau group masyarakat yang mendiami pulau Bangka yaitu Orang orang China, Orang Melayu termasuk di dalamnya etnis lain dari berbagai pulau di Nusantara, Hill People (sering disebut orang gunung, atau orang darat) dan Sea Dwellers (orang laut). Perkembangan dan populasi pekerja timah dari Cina berkembang dengan pesat, hal ini terbukti bahwa pada tahun 1816 terdapat 2.528 pekerja timah di Bangka. Berdasarkan catatan pada tahun 1848 jumlah penduduk etnis China di Pangkalpinang berjumlah sekitar 1.867 Jiwa, kemudian terus berkembang dan berdasarkan sensus pada tahun 1920 terdapat 15.666 orang etnis China di Pangkalpinang dan merupakan 68,9 persen dari seluruh penduduk pada waktu itu.
Sejarah Pangkalpinang secara mendasar tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kekuasaan kekaisaran Tiongkok di Asia Timur dan perebutan, penguasaan atau eksploitasi terhadap biji timah oleh berbagai bangsa, sebagai bukti dari kedua hal tersebut dapat dilihat dari monument hidup (Living Monument) diantaranya Kelenteng yang tersebar hampir diseluruh pelosok kota dalam ukuran besar dan kecil sesuai dengan fungsi dan penggunaannya, bentuk bangunan rumah tinggal berarsitektur vernakuler Cina berikut dengan penataan pemukiman yang dipisahkan dengan banyaknya gang gang sempit, tersebarnya makam makam tua orang Cina yang disebut Pendem Cina, Pemakaman Belanda (Kerkof), ditemukannya berbagai keramik Cina (peninggalan Dinasti Qing tahun 19 M), ditemukan ratusan meriam kuno tua terbuat dari besi dan perunggu misalnya yang ada di depan rumah Dinas Walikota tahun 1840, dan di depan Polresta Pangkalpinang tahun 1854. Bukti tertua tentang pengolahan timah ditemukan di situs Kota Kapur Bangka, berdasarkan penelitian ditemukan terak atau limbah peleburan biji logam, kapan asal zaman peleburan biji logam ini tidak di ketahui secara pasti akan tetapi dari angka tahun Prasasti Kota Kapur diperkirakan pada tahun 686 M, yang jelas tekhnologi Perundagian ini diperoleh oleh bangsa Indonesia dari Dongson. Baru ada catatan yang jelas tentang penemuan timah di Bangka kira-kira tahun 1709 M, kemudian tahun 1812 Inggris menguasai Bangka Belitung dan tahun 1814 dikuasai Belanda, dan sejak itu mulai dilakukan eksploitasi besar besaran terhadap biji timah.
Sedangkan pengaruh kekaisaran Tiongkok di Bangka Belitung berdasarkan catatan tertua yang ada yaitu sekitar tahun 1292 M ketika Khu Bilai Khan kaisar Tiongkok mengirimkan Ekspedisi untuk menghukum Kertanegara raja Singosari karena menolak membayar upeti sebagai tanda takluk, sebab dalam konsep Chung Kuo (pusat kekuasaan Tiongkok) kerajaan kerajaan dalam lingkaran luar termasuk dalam kekuasaan mereka, termasuk kerajaan yang ada di Nusantara yang disebut dengan Nan Yang atau negeri selatan. Pasukan besar Tiongkok berjumlah 20.000 orang dengan kapal perang berukuran besar sejumlah 1.000 kapal dan perbekalan cukup untuk selama 1 (satu) tahun singgah di Bangka, Belitung dan Kalimantan Barat untuk membuat kapal kapal kecil guna mempercepat gerak pasukannya memasuki perairan dan sungai di Jawa. Hal ini makin memperjelas bahwa Bangka Belitung khususnya Pangkalpinang sangat strategis dan merupakan jalur perdagangan laut antar negara (Jejaring Asia) diantaranya Cina, Asia Tenggara, Kepulauan Nusantara dan India, dan peran pelabuhan pelabuhan yang ada di Bangka Belitung seperti Mentok, Tempilang, Tanjungpandan dan Pangkalbalam serta pelabuhan lainnya sebagai Bandar Internasional dan Interinsuler pemasok barang niaga seperti hasil hutan (Damar, Gaharu), merica atau lada dan Timah.
Berikutnya pengaruh budaya China masuk ke Nusantara, ketika Cheng Ho (Zheng He) (tahun 1371 – 1435 SM), seorang Muslim yang lahir di Propinsi Yuan mengadakan perjalanan sebanyak 7 (tujuh) kali dalam 28 Tahun. Cheng Ho mengunjung Gersik, Tuban, Lasem, Semarang, Jakarta, Palembang, Aceh dan Bangka, salahsatu peninggalan ekspedisi Cheng Ho adalah tekhnologi pembuatan kapal/perahu dan bangunan bangunan yang berarsitektur China. Gelombang besar kedatangan bangsa Cina untuk mengeksploitasi timah di Bangka di mulai pada awal abad 20, banyak kongsi kongsi dagang yang berdiri untuk menambang dan memperjual belikan timah, tiap kelompok atau kongsi memiliki pimpinan dan struktur sosialnya sendiri, mereka juga membawa kepercayaan asli darimana mereka berasal.
Untuk melakukan pemujaan sesuai dengan aliran yang dianut mereka membangun Kelenteng, misalnya pada kelenteng Kwan Tie Bio. Pada Kelenteng tertua di Pangkalpinang ini terdapat hiasan buah Labu (Gourd) di puncak atap kelenteng dan adanya lambang Patkwa (Pakua) di depan kelenteng yang di tengahnya ada lingkaran hitam putih (Ying dan Yang), Patkwa (Pakua) melambangkan keberuntungan, rejeki atau kebahagiaan. Dua ciri di atas menunjukkan bahwa aliran Taoisme masih merupakan yang terpenting. Nama kelenteng sudah dua kali mengalami perubahan, pada masa Orde Baru kelenteng ini bernama Amal Bhakti. Pada tahun 1986 bagian depan kelenteng terkena pelebaran jalan sehingga pekarangan depan, pintu serta tembok depan mundur beberapa meter, bagian altar Kuan Tie tetap utuh dan bagian depan dibangun menjadi 2 lantai. Pada tahun 1991 bagian belakang kelenteng diubah menjadi tempat tidur petugas dan dapur. Pada Tanggal 22 Februari 1998 terjadi kebakaran yang menghanguskan seluruh bangunan kelenteng kecuali pada bagian kiri bangunan, sejak itu dilakukanlah pemugaran kembali dipimpin oleh Jamal seorang ahli dalam kelenteng dan pembuatan patung dan rehabilitasi selesai seperti bentuk sekarang serta diresmikan pada tanggal 5 Agustus 1999 dengan nama kelenteng Kwan Tie Miau. Kelenteng ini diperkirakan dibuat pada tahun 1841 Masehi (dari aksara cina pada sebuah Lonceng besi di kelenteng). Pembangunannya sendiri dilakukan secara gotong royong oleh berbagai kelompok Kongsi penambangan timah yang ada di Pangkalpinang, dan diresmikan pada tahun 1846, hal ini terbukti dari ucapan selamat dari beberapa perkumpulan Kongsi pada hari baik bulan baik tahun ke 26 Daoguang yang bertepatan dengan tahun 1846.
Pemujaan utama pada kelenteng ini adalah terhadap Thian (Tuhan Alam semesta) dan terhadap tokoh Huang Ti (Kaisar terkenal dinasti Chin yaitu Chin Shih Huang Ti) sangat dominan sekali di kelenteng ini, sehingga mereka sering disebut orang Cin. Di samping Huang Ti terdapat arca Chui chang di sebelah kiri dan Kuan Pien di sebelah kanan, kemudian terdapat lagi Dewa Pekong (Pengatur Keselamatan), Cai Shen (Dewa rejeki), Tai Sui (Dewa Keselamatan Umum), Tian Hou Shen Mu (Dewi Laut). Selain dewa dewi yang berasal dari kepercayaan Kong hu cu, pemujaan terhadap Dewi Kwan Im juga dilakukan. Dewi ini adalah Awalokiteswara, salah satu Dewa dalam pantheon agama Budha Mahayana yang dipercaya akan membangkitkan dunia dari kehancuran dan menyelamatkan manusia dari siksa akhirat. Setiap hari ke 13 bulan lima penanggalan Imlek diadakan perayaan hari hari besar dewa dewa kelenteng.
Kawasan Kelenteng Kwan Tie Miaw ini sekarang ditambah dengan lokasi Gang Singapur dan Pasar Mambo sedang dikondisikan sebagai salah satu Objek wisata kota Pangkalpinang yaitu Wisata Budaya dan Wisata Belanja. Lokasi ini diupayakan menjadi China Town (untuk mengingatkan kepada wajah kota lama Pangkalpinang yang sangat dipengaruhi oleh rumah rumah dan kelenteng Cina) dan dijadikan juga sebagai pusat upacara peringatan hari Raya Imlek, puncak hari raya Cap Go Meh, kegiatan Sembahyang Rebut dan kegiatan Pot Ngin Bun. Kegiatan Pot Ngin Bun merupakan satu satunya ritual yang ada di kelenteng Kwan Tie Miaw. Kegiatan ini dilakukan untuk menolak bala dan segala wabah penyakit yang mewabah di Masyarakat seperti wabah Beriberi yang mewabah di Bangka sekitar tahun 1850-1860. Disamping Kelenteng sebagai Monumen hidup pengaruh Cina di Bangka dan Belitung adalah ditemukannya makam makam orang Cina yang tersebar di berbagai tempat, tidak diketahui secara pasti kapan perubahan tradisi menguburkan orang yang telah meninggal di dalam tanah, sebab kebiasaan sebelumnya mereka menguburkan orang yang meninggal dalam tempayan (banyak ditemukan tempayan di saat penduduk membuka ladang). Makam makam Cina ini dibangun dalam bentuk dan arsitektur yang unik dan menarik serta dihiasi dengan tulisan aksara Cina yang indah dan sangat jelas sekali menunjukkan status sosial ekonomi orang yang dimakamkan. Makam umumnya dibangun pada lokasi perbukitan, hal ini menunjukkan penghargaan dan penghormatan yang tinggi orang Cina terhadap leluhur dan nenek moyangnya.
Setiap tahun di adakan tradisi Sembahyang Kubur (Ceng Beng atau Qing Ming), seluruh keluarga yang ada di perantauan pulang untuk sembahyang dan memberikan penghormatan terhadap leluhur. Puncak pelaksanaan Ceng Beng dilaksanakan pada tiap tanggal 5 April, khusus di Pangkalpinang ritualnya di pusatkan di Pekuburan Sentosa yang didirikan pada tahun 1935. Pada tahun tersebut juga didirikan Paithin yaitu rumah tempat sembahyang. Dari sekian banyak makam, makam tertua yang ada di sini adalah makam keluarga Boen Piet Liem (tidak jelas nama siapa yang dimakamkan), kuburan ini dipugar di tahun ke empat setelah pemerintahan Sun Yat Sen (memerintah tahun 1911), jadi makam dipugar sekitar tahun 1915. Sampai sekarang kompleks makam ini masih berfungsi, luas kompleks makam seluruhnya 199.450 M2 dengan jumlah makam sebanyak 11.478 makam, dari seluruh makam terdapat 1(satu) makam yang beragama Islam yaitu makam Ny. Tjuriaty binti Kusumawidjaya berangka tahun 1994, tanah pekuburan sentosa merupakan sumbangan dari Marga Boen, menurut tugu pendiri makam yang dibangun tahun 1935, makam ini didirikan oleh empat orang yaitu Yap Fo Sun tahun 1972, Chin A Heuw tahun 1950, Yap Ten Thiam tahun 1944 dan Lim Sui Cian. Untuk mempermudah pengelolaan kompleks pemakaman telah dibangun Kantor, rumah duka dan jalan jalan beraspal di sekitar makam untuk mempermudah transportasi.
0 komentar:
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar