KONFERENSI PANGKALPINANG

by SEJARAH PANGKALPINANG | 23.26 in |

Usia kota Pangkalpinang tergolong muda kalau dilihat dari aspek pemerintahan, akan tetapi sebagai kota sejarah, khususnya sejarah perlawanan rakyat menentang Kolonialisme Belanda dan pergerakan kebangsaan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan, kota ini memiliki nilai historis yang sangat penting. Ada dua peristiwa sejarah pergerakan kemerdekaan yang terjadi di Pangkalpinang yang merupakan bagian dari sejarah nasional dan dapat dijadikan sebagai simpul perekat keindonesiaan yang perlu diteliti dan ditulis sejarahnya secara utuh dan lengkap sebagai bagian dari Sejarah Nasional yaitu tentang Konferensi Pangkalpinang dan Pengasingan Pemimpin Republik ke Bangka.

Perlawanan rakyat menentang penindasan Inggris dan Belanda di Bangka merupakan perlawanan tertua di Nusantara, perlawanan ini dilakukan karena pemerintah Hindia Belanda ingin memonopoli perdagangan khususnya timah dengan dalih ingin menghapuskan Sistem Timah Tiban yang berlaku sejak Bangka di bawah kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam. Perlawanan dimulai oleh Demang Singayudha di Kotaberingin dan Batin Tikal di Gudang, Perlawanan Rakyat Bangkakota pada bulan Mei tahun 1819, Perlawanan Depati Bahrin tahun 1820-1828 dan Perlawanan Depati Amir tahun 1848-1851. Setelah Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 setidaknya ada dua kegiatan bersejarah tentang pergerakan kebangsaan yang terjadi di Kota Pangkalpinang, yang pertama yaitu pada tanggal 1 – 12 Oktober 1946, dilaksanakan Konferensi Pangkalpinang. Konferensi ini merupakan kelanjutan Konferensi Federal Malino Sulawesi Selatan tanggal 15 - 25 Juli 1946. Dipilihnya Pangkalpinang sebagai tuan rumah karena Belanda ingin menjadikan daerah daerah di luar Jawa dan Sumatera sebagai basis kekuatannya. Konferensi ini bertujuan untuk penyatuan pendapat antara golongan - golongan minoritas (Eropa, Arab China dan India). Konferensi ini kurang disambut antusias masyarakat dan disertai dengan ketidak jelasan sikap etnis Cina yang tinggal di Bangka, hal ini dikarenakan keseganan mereka terhadap perjuangan kaum republik dan traumanya orang Cina di Bangka terhadap perlakuan dan kekerasan pemerintah Belanda terhadap pemberontakan Cina di Jawa. Dari sisi Politis delegasi etnis Cina tidak memberikan usul yang berarti, mereka hanya mengusulkan tentang bantuan dan subsidi pendidikan terhadap sekolah Tionghoa (THHK), perbaikan pelayanan kesehatan, dan perbaikan sistem perdagangan. Kaum Republiken sangat menentang konferensi ini karena merupakan strategi dan upaya Van Mook untuk membentuk negara Federal Bangka Belitung dan Riau dalam negara Indonesia Serikat yang merupakan Uni Indonesia Belanda.

Setelah perundingan Linggajati tanggal 10 November 1946 yang salah satu isi butirnya adalah Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda selaku ketuanya. Dalam rangka membentuk Negara Indonesia Serikat tersebut, Pemerintah Hindia Belanda membentuk Bangka Raad (Dewan Bangka Sementara) dengan Surat Keputusan tanggal 10 Desember 1946 Nomor 8 ( STBL. 1946 Nomor 38 ) yang ditandatangani oleh Guvernemen General Nederlanshe Indie. Keputusan ini menjadikan pulau Bangka suatu daerah otonom. Dewan Bangka sementara ini merupakan lembaga pemerintah tertinggi di bidang otonomi, sebagai ketuanya diangkatlah Masyarif Datuk Bendaharo Lelo yang didampingi sekretaris yaitu Saleh Achmad. Dewan ini beranggotakan 25 (dua puluh lima) orang yang terdiri dari 14 (empat belas) orang Indonesia, 9 (sembilan) orang Tionghoa serta 2 (dua) orang bangsa Belanda. Dari 14 (empat belas) anggota orang Indonesia 13 (tiga belas) orang dipilih dan 1(satu) orang diangkat oleh Residen, kemudian dari 9 (sembilan) anggota orang Tionghoa 8 (delapan) orang dipilih dan 1 (satu) orang diangkat oleh Residen. Dari 2 (dua) anggota orang bangsa Belanda, 1 (satu) orang diangkat Masyarakat dan 1 (satu) orang diangkat oleh Residen. Kemudian dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie tanggal 12 Juli 1947 Nomor 7 ( STBL. 1947 Nomor 123 ) Dewan Bangka.

Sementara ditetapkan sebagai Dewan Bangka dan ketuanya tetap dipegang oleh Masyarif Datuk Bendaharo Lelo. Setelah pelaksanaan Konferensi Pangkalpinang diadakan Konferensi Denpasar tanggal 24 Desember 1946 yang melahirkan negara Indonesia Timur. Upaya Belanda untuk membentuk negara negara federal terus diupayakan, dalam bulan Januari tahun 1948 dengan Surat Keputusan Lt. Guverneur General Nederlandshe Indie Nomor 4 (STBL. 1948 Nomor 123) tanggal 23 Januari 1948 Dewan Bangka, Dewan Belitung dan Dewan Riau bergabung menjadi BABIRI yang kemudian akan dijadikan salah satu Negara Federal dalam Uni Indonesia Belanda. Kemudian pada tanggal 29 Mei 1948 dilaksanakan Konferensi Bandung yang diikuti oleh tiga orang utusan dari Bangka yaitu Masyarif Datuk Bendaharo Lelo, Se Siong Men, dan Joesoef Rasidi, Konferensi Bandung ini menyepakati berdirinya BFO(Bijeenkomst Federal Overleg) yaitu sebuah Badan Permusyawaratan Federal yang beranggotakan wakil wakil dari Negara Federal bentukan Belanda dan diharapkan juga nantinya Republik Indonesia juga ikut bergabung di dalamnya. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Konferensi ini berhasil membentuk BFO dan gagal mempengaruhi kaum republik dan rakyat untuk mendirikan negara Bangka Belitung dan Riau, karena semangat Nasionalisme dan patriotism masyarakat Bangka khususnya warga Pangkalpinang.

0 komentar:


Wahyu purwanto lahir di Pangkalpinang tanggal 24 oktober 1991,tinggal di K.H.ABDUL HAMID Gang KENANGA 3 PANGKALPINANG, merupakan salah satu mahasiswa di STMIK ATMA LUHUR PANGKALPINANG